Changes and People


“For years social scientists have said that humans resist change–and so they do. But they resist only those changes they do not understand, are suspicious of, or consider to be against their interests. Human embrace change that seems good for them or good for the world they live in and care about” – Kepner & Tregoe in The New Rational Manager
Kurang lebih dua bulan terakhir ini adalah masa “turbulence and chaos” untuk saya. Masa-masa damai lewat sudah. Semua ini hanya karena sebuah keisengan mengirimkan lamaran ke Telkom University. This is exactly how a simple move (without thinking too much) could put you into a complicated yet interesting situation. Kehidupan saya yang tadinya hanya bergulir seputaran pengajaran, riset, drama, dan kristik, tiba-tiba dijungkirbalikkan oleh proses rekrutmen dan pelatihan-pelatihan dosen baru.

 

Dalam kurun waktu ini, saya bolak balik mengecek semua jalan yang tersedia dan menyesuaikannya dengan tujuan jangka panjang saya, yang kemudian melibatkan banyak konflik dan konsultasi-konsultasi. Pada akhirnya saya memutuskan untuk maju terus. Menangkap perubahan yang ada di hadapan saya. Namun, ketika dihadapkan dengan tempat baru, suasana baru dan teman-teman baru, timbullah kecemasan-kecemasan. How is the culture, can I fit in, is it okay if I do this or that, will they accept me the way I am, and many more. KETIDAKPASTIAN. Itulah yang selalu menemani sebuah perubahan.

 

PERUBAHAN, sepertinya hal inilah yang akan selalu kita hadapi dalam menjalani hidup. Ketika kita mulai sekolah terjadi perubahan, ketika kita beranjak remaja terjadi lagi perubahan, ketika kita menyelesaikan pendidikan terjadi lagi perubahan. Begitu terus selama kita masih hidup di dunia. Manusia di desain untuk dapat beradaptasi dengan perubahan, hanya saja mungkin proses dan bagaimana kita menyikapi perubahan itu yang berbeda. As stated in one of my favorite subject on edx about learning:

 

“One way in which I think about it is that–and I think it comes from my background as a biologist–one of the fundamental features of all living things is that you change over time, right? And to stay still to in chemical terms or biochemical terms, to reach equilibrium is to die. So living things are always in a process of change. They’re always in a dynamic state.” – Rob Lue
Andrew O’Keeffe dalam bukunya “Hardwired Humans” menyatakan bahwa yang membuat manusia menolak perubahan adalah karena manusia bersifat “loss aversion”. Istilah Loss Aversion ini sendiri pertama kali saya ketahui dari Kahneman dan Tversky (Idola saya, tapi itu lain cerita), dalam teori yang membawa hadiah nobel pada mereka, Prospect Theory. Teori ini menyatakan bahwa, jika dihadapkan pada kondisi ketidakpastian (risk) manusia akan cenderung mengindari kerugian. Dengan kata lain, kerugian yang diakibatkan oleh kehilangan (loss) sesuatu dengan nilai tertentu akan lebih menyakitkan daripada kesenangan yang didapatkan akibat mendapatkan (gain) sesuatu yang sebenarnya nilainya sama. (Kemudian hening. Curiga yakin pada ga ngerti apa yang saya tulis. Hihihi…) Gampangnya, untung 100 ribu itu senangnya 100 ribu juga, tapi rugi 100 ribu itu sakitnya 200 ribu.

 

Hal inilah yang mungkin paling tepat menggambarkan bagaimana orang menolak perubahan (walaupun literatur lain menyatakan banyak faktor termasuk ketidakjelasan alasan perubahan, kurangnya komunikasi dan perubahan rutinitas*). Ketika saya mulai terjun di lingkungan Telkom University, bermunculanlah cerita-cerita bagaimana sulitnya membentuk universitas ini, karena banyak pihak yang menentangnya. Secara teoritis, kita bisa menganalisis dan menjelaskan kenapa terjadi resistance pada ide perubahan tersebut. Namun, yang paling utama untuk dilakukan mungkin adalah bagaimana supaya perubahan bisa diterima semua pihak yang terkena dampak perubahan tersebut. Tentu saja ini bisa dilakukan dengan lebih banyak komunikasi. Cara yang paling obvious tentu saja dengan menjelaskan bahwa nilai (value) dari kehilangan yang mungkin terjadi jauh lebih kecil dari nilai keuntungan yang bisa didapatkan. Sifat loss aversion manusia akan selalu ada, pembawa perubahanlah yang harus membantu mereka untuk menyadari bahwa kerugiannya tidaklah “semenyakitkan” itu…

 

* sources
http://www.torbenrick.eu/t/r/hwj
http://blogs.hbr.org/2012/09/ten-reasons-people-resist-chang/

 

**definitely re-post (from 4 years ago… ;p)

Leave a Reply