Bandung Creative Movement Seminar 2016


IMG_0409

Senin, 14 November 2016 yang lalu, saya berkesempatan untuk menghadiri seminar pada rangkaian acara Bandung Creative Movement 2016 dengan topik “Multidisciplinary Design: Harmonizing design in today’s society, technology and business.” Menurut saya seminar ini an eye-opening event. Unfortunately, saya hanya berkesempatan menghadiri 2 sesi saja, akibat sakit perut hebat yang tiba-tiba melanda (yang sepertinya akibat dari kalap makan nanas yang disediakan ketika jadwal lunch break :p)

Sesi yang paling menarik pada seminar ini menurut saya adalah sesi pertama. Pembicara pada sesi ini antara lain Josyane Franc dari Saint-Ettinne, Perancis; dia-yang-jika-namanya-disebut-bikin-lidah-keserimpet, Kittiratana Pitipanich dari Thailand; dan terakhir Takaki Mori, dari Jepang.

Pembicara pertama, Josyane Franc, membicarakan bagaimana kota yang ditempatinya, Saint-Ettienne, (baca: sangtetiang, yah kurang lebih begitulah…) meng-embrace tittle UNESCO Creative City of Design. Pada awal presentasinya, ibu (mungkin lebih tepatnya nenek, karena beliau baru punya cucu ^^) ini menyebutkan bahwa hingga saat ini terdapat 116 kota di 54 negara yang telah tergabung dengan UNESCO Creative City Network, termasuk Saint-Ettienne dan Bandung (Whew! Kemana aja gue?!). Kemudian beliau menjelaskan bagaimana kota tersebut telah berhasil mentransformasi dirinya sehingga menjadi “layak” menyandang gelar yang diberikan UNESCO tersebut. Mulai dari desain goodie bag/oleh-oleh kota yang “lucu”, penataan lanscape dan public space dengan desain yang kreatif, hingga masuk pada desain sekolah dan bangunan-bangunan kota yang (menurut saya) sangat menarik.

Sementara itu, pembicara kedua, Kittiratana Pitipanich, membahas topik co-created design. Beliau memulai presentasinya dengan menanyakan bagaimana biasanya banjir di Bandung, dan menunjukkan bahwa di kota beliau (namanya terlalu sulit untuk diingat) di Thailand, banjir bisa terjadi selama berbulan-bulan (tidak surut selama berbulan-bulan!! Dan paling cepat juga sebulanan…) Karena pemerintah tidak bisa diandalkan untuk mengurangi banjir ini, beberapa orang memutuskan untuk pindah dan beberapa, karena berbagai alasan, memutuskan untuk tetap tinggal. Mereka yang tinggal inilah kemudian berusaha untuk menciptakan berbagai hal yang membantu mereka melewati masa banjir yang berbulan-bulan tersebut. Desain mencakup alat-alat keselamatan, desain landscape and space, peralatan “kebersihan” pribadi, hingga fashion “tahan banjir”. Intinya beliau membicarakan bagaimana membangun Creative Ecology pada ruang lingkup kotanya.

Pembicara ketiga, Takaki Mori, tidak bisa berbahasa Inggris, dan membawa translator untuk dirinya. Agak membingungkan juga ternyata mendengarkan presentasi via translator. (^^)!  Inti dari bahasan beliau adalah desain itu untuk memberi kebahagiaan (happiness) untuk orang-orang yang menggunakan produk tersebut. Spesialisi beliau adalah desain packaging. Dalam presentasinya beliau menunjukkan beberapa desain kemasan yang ada di Jepang. Semua desainnya lucu-lucu, unik dan khas jepang sekali. Desain kemasan ini disesuaikan dengan jenis kebahagiaan apa yang kira-kira dihargai dan diperlukan oleh orang-orang yang menggunakan produk tersebut. Jika produk tersebut ditujukan untuk wanita muda, dibuat kemasannya yang imut-imut khas Jepang dan banyak contoh lainnya.

Setelah sesi kedua ini, terdapat lunch break yang diiringi oleh “choir” yang buat saya menyeramkan. Penggalan “choir” dapat dilihat pada video berikut: (sebagai catatan, choir ini jugalah yang membuka acara seminar ini… which is super weird for my taste)

Pada sesi kedua ada dua pembicara: Zachary Haris Ong and William Herald-Wong. Both of them came from Malaysia. Saya kurang bisa menangkap apa sebenarnya topik besar pada sesi dua ini. Sepertinya bicara mengenai leadership atau kepemimpinan dalam sudut pandang desain. Zachary Ong pada kesempatan ini membahas tentang Design Leadership. Beliau sempat menjelaskan bahwa ada dua design domain: Visionary (seperti Steve Jobs) dan Functionary (Beliau menyebutkan seseorang yang tidak familiar). Intinya design Leader itu harus memiliki beberapa kriteria: To Serve (the humanity), Context decide Content, dan Integrity. Disebut-sebut nama John Maeda pada presentasinya. Mungkin video berikut dapat memberi sedikit gambaran mengenai John Maeda sendiri:

Pembicara kedua lebih banyak membicarakan mengenai pengalaman beliau selama bekerja pada The Design Alliance Asia. Sepertinya beliau membicarakan bagaimana desain itu harus memasukkan unsur lokal maupun unsur-unsur yang mengikuti perkembangan jaman. Shamanism dan Shadow Puppet a.k.a Wayang banyak disebut-sebut dalam presentasinya. Pada saat beliau presentasi sakit perut sudah mulai menyerang, jadi kurang bisa konsen mendengarkan apa yang beliau presentasikan.

Overall, saya senang bisa mengikuti acara seminar ini. Banyak sekali informasi baru yang bisa saya dapatkan, dan well… its always fun to find something new that you can fill into that tiny brain of yours..

,

Leave a Reply