When Your Brain Deceive You


Oh! How human’s brain is never stop to amaze me!!

Pada postingan ini mari kita bicarakan lagi tentang form C1 yang menggemparkan jagad per-pilpres-an tahun ini (halah… ^_*). Saya akan ambil satu kasus keanehan form satu ini yaitu form pada gambar berikut ini:

Sebagai manusia lugu-lugu bin culun, ketika saya melihat form ini yang ada dipikiran saya adalah “ni petugas cape banget ya, sampe ngejumlah aja ngaco” ^^. However, somehow ada pendukung jokowi yang (mungkin) dalam kepalanya sudah ada pikiran-pikiran (maaf) kotor akan terjadinya kecurangan, mengatakan bahwa ini adalah salah satu bentuk kecurangan untuk menaikkan suara prabowo (That strong opinion actually sound harsh to me). Kemudian (akhirnya), ada pendukung prabowo, yang (mungkin) tidak ingin dianggap melakukan kecurangan, memberi penjelasan mengenai form ini. Menurutnya suara prabowo disitu awalnya ditulis 014. Namun, ternyata angka 0 (nol) didepan itu tidak diperbolehkan dan harus diberi tanda silang. Jadi disilanglah si 0 (nol) ini. Sialnya, mungkin karena penngaruh lemasnya si panitia yang menulis form ini juga, tanda silangnya kecil sekali dan malah membuat angkanya berubah menjadi angka 8 (excuse me for a bit, because all of these make me want to laugh out loud). Semua komentar ini membuat saya kembali memperhatikan form ini dengan lebih teliti. Dan ternyata sodara-sodara, sepertinya penjelasan dari saudara pendukung prabowolah yang paling masuk akal. (Saya tidak bermaksud mendiskreditkan siapapun loh, karena memang begitulah adanya. Lagipula saya bukan pendukung capres manapun. Peace…)

Dan kejadian ini membawa saya kembali pada sebuah film yang pertama kali saya ketahui ketika saya sedang menjalani masa-masa grad school di SBM ITB, RASHOMON (Padahal filmnya jadul sekali. Thanks to pak Bill Watson, saya jadi kenal film ini) Film ini menunjukkan bahwa manusia yang berbeda bisa menginterpretasikan SATU kejadian dengan interpretasi yang berbeda (Jika ingin tahu lebih jelas lagi silahkan tonton saja filmnya atau baca di wikipedia. Bisa jadi kuliah 2 jam ntar klo mesti dijelaskan disini. Hihihi…) And it does happen pada pekara form C1 diatas tadi. Kami sama-sama melihat satu benda, and yet apa yang kami pikirkan ketika melihatnya sangatlah berbeda. How amusing!

Permasalahan mengenai persepsi yang berbeda dalam melihat suatu hal ini juga dibahas oleh pak Daniel Kahneman dalam bukunya “Thinking Fast and Slow”. Beliau memberi istilah “WHAT YOU SEE IS ALL THERE IS (WYSIATI). Otak kita, dalam buku ini disebut sebagai sistem 1 (you need to read this book to really understand the term), seringkali (atau selalu) jump to conclusion, terutama pada kondisi dimana informasinya tidak lengkap. Beliau mengatakan“System 1 is radically insensitive to both the quality and the quantity of the information that gives rise to impressions and intuitions.” Ini terjadi secara alamiah dan tidak bisa dihindari. Kerja otak inilah yang kemudian menyebabkan munculnya bias-bias seperti overconfidence dan framing effects (that would be another story). Akibatnya, menjadi penting untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sebelum membuat judgment mengenai kejadian tersebut. Well, just wake your lazy system 2 up before throwing harsh statement to the public.

Sedikit keluar topik, pagi ini saya menemukan sebuah video tentang mata pelajaran benama “Reading like a historian”. Dikelas ini siswa diberi dokumen-dokumen sejarah asli (kopiannya tentu saja) lengkap dengan gambar-gambar mengenai sebuah kejadian sejarah spesifik. Mereka kemudian diminta untuk memahami apa sebenarnya yang terjadi pada masa itu dan bagaimana kejadian yang tercatat dalam sejarah itu bisa terjadi. Premisnya adalah sebuah kejadian sejarah itu sebenarnya bukan hanya rangkaian kejadian saja, namun merupakan hasil dari berbagai opini dan persepsi yang berbeda, yang saling berkaitan dan sangat kompleks. Dari kelas ini, siswa diharapkan untuk dapat melihat segala sesuatu dari berbagai sisi (opini dan persepsi tersebut), memahami kenapa kejadian sejarah tersebut bisa terjadi dan (mungkin) bisa belajar lebih banyak dari kejadian masa lalu, daripada hanya dijejali dengan serangkaian (yang dianggap sebagai) fakta-fakta sejarah. Jika melihat kelakuan bangsa kita akhir-akhir ini, mungkin kita memerlukan mata pelajaran seperti ini di sekolah-sekolah kita.

Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat, sebelum kita menyakiti hati orang lain, mungkin ada baiknya jika kita berusaha untuk berada in their shoes first. Karena dengan demikian, kita bisa meminimalisir salah paham dan perselisihan yang tidak penting.

Sekian

Nb. Lega juga abis nulis segambreng gini…

,

One response to “When Your Brain Deceive You”

Leave a Reply