Post Truth, The Darkness of Our Time


Beberapa waktu lalu terdapat Sebuah artikel yang sangat menarik, dibahas di sebuah forum. Artikel tersebut membahas tentang sesuatu bernama post truth.

Menurut oxford dictionary post-truth (yang merupakan word of the year 2016 versi oxford) adalah: 

Relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief

Kata ini memang sangat populer tahun lalu dengan adanya fenomena brexit dan terpilihnya trump sebagai presiden amerika. Kebenaran tidak lagi relevan bagi sebagian besar orang, yang lebih relevan adalah yang menyentuh sisi emosi dan kepercayaan seseorang. Mungkin hal ini jugalah yang menyebabkan banyaknya faksi-faksi dan kubu-kubu dalam kehidupan sosial di Indonesia saat ini.

Artikel tersebut berusaha mengupas kenapa fenomena ini, yang walaupun sudah ada sejak lama, menjadi memburuk pada era ini. Di sana disebutkan bahwa semakin kompleksnya kehidupan manusia, keberadaan internet (dan serbuan informasi yang sulit terfilter. Well, let’s talk about information overload some other time later…) menyebabkan bahasa yang kita gunakan saat ini mengalami perubahan yang sangat cepat. Banyak muncul kata2 baru, dan kata-kata yang telah ada mengalami perubahan arti yang cukup signifikan. Terlalu cepatnya perubahan bahasa inilah yang kemudian menyebabkan penggunaan kata dan bahasa menjadi sulit diartikan oleh manusia dan penyampaian bahasa pun menjadi tidak akurat. Orang jadi cenderung menggunakan bahasa yang indirect, ambigu dan dapat menyebabkan multiple interpretation.

Walaupun dengan sudut pandang yang berbeda (artikel tersebut lebih fokus pada aspek linguistik), hal ini seperti pas dengan buku Dan Ariely, The Honest Truth About Dishonesty (yang lebih fokus pada behavior manusia). Menurut buku tersebut manusia hanya akan jujur jika ada semacam constant reminder mengenai batas-batas moral, dan jika situasi mengizinkan manusia akan cenderung tidak jujur. Kondisi ini seperti mengizinkan manusia secara kolektif menjadi tidak jujur. Menurut saya tekanan sosial (untuk menampilkan citra diri yang lebih baik di mata orang lain) membuat munculnya penggunaan bahasa-bahasa yang ambigu tersebut. In our mind: Jika saya jujur dan menggunakan direct language, ada kemungkinan orang lain akan berpandangan buruk tentang saya. Dan karena semakin meluasnya berbahasa yang demikian (terutama dengan adanya internet), akhirnya gaya bahasa tersebut menjadi semacam norma yang dimaklumi bersama (isn’t  it pluralistic ignorance?) 

Well, the best thing we could do, I guess, in this difficult era is that we should be wiser than before. Tidak mudah terprovokasi setiap menerima informasi baru dan selalu berusaha kritis terhadap setiap informasi yang datang…

,

Leave a Reply