Which Way?


Kemaren, ketika hendak pulang dari kampus tanpa sengaja aku mendengar percakapan dua manusia (ini beneran ga sengaja lo, bukan bermaksud nguping… :p). Sebut saja kedua manusia ini sebagai manusia A dan manusia B (sebenarnya pada saat itu masih ada juga manusia C, D, E dan F, tapi itu sudah diluar konteks pembahasan notes ini. halah…). Dari gelagatnya, ini si manusia A sedang curhat kepada manusia B. Tapi karena waktu itu ga niat nguping, ga tau juga itu yang dicurhatin apa. Percakapan mreka berdua sempat terputus karena ada gangguan dari manusia2 lain yang ada dsana pada saat itu. Kemudian, setelah semua gangguan hilang manusia B tiba2 melanjutkan pembicaraan mereka, kali ini dengan suara yang agak keras. Sepertinya karena si manusia B ini tidak keberatan jika ada yang mendengar pembicaraan mereka. Beginilah kira2 percakapannya*:

 

Manusia B: Sekarang coba kamu lihat disini, (sambil menunjuk pada meja yang ada dihadapan mereka berdua) Misalkan kamu sekarang disini, (manusia B membuat sebuah bulatan dibagian kiri meja) Kemudian tujuan kamu disini, (manusia B membuat lagi sebuah bulatan dibagian kanan meja) Sekarang, ada dua jalan ni dari sini (menunjuk bulatan dikiri) ke sini (menunjuk bulatan dikanan) Nah, jalan yang ini (manusia B membuat lengkungan keatas dari bulatan kiri ke kanan) kamu melewatinya dengan marah, sedih dan lain-lain. Sementara itu jalan yang ini (lagi2 manusia B membuat lengkungan kebawah dari bulatan kiri ke kanan) Kamu melewatinya dengan bahagia, semangat dan menikmatinya. Kira2 jalan mana yang akan kamu pilih??

Manusia A: ya jalan yang ini lah (menunjuk jalan yang melengkung ke bawah)

Manusia B: nah, itulah yang harusnya kamu lakukan. Bagaimanapun, pada akhirnya tujuan kamu itu kesini (kembali menunjuk bulatan di sebelah kanan), apapun jalan yang kamu pilih kamu akhirnya akan kesini jadi, daripada kamu sekarang marah, berkeluh kesah, sedih dll, bukankah lebih baik kalau kamu memilih untuk berbahagia, dan menikmati jalan menuju kesini (sambil terus menunjuk2 diagram imajiner buatannya)

 

Waktu itu aku sampe terbengong-bengong mendengar penjelasan si manusia B ini dan berpikir “wah bijaksana bijaksini juga nih manusia”. hehehehe….

Sepulang dari kampus, dan teringat percakapan itu, aku jadi teringat sebuah buku yang udah lama aku baca. Judul terjemahannya adalah “The day I die”, terbitan mizan kalo ga salah. Buku ini adalah sebuah novel yang lucu dan sangat menghibur, namun penuh pesan moral. Buku ini menceritakan tentang seorang nenek-nenek bernama Elner yang tinggal sendiri. suaminya telah meninggal dan dia tidak memiliki seorang anakpun (klo ga salah). Nenek2 ini tinggal di sebuah kota kecil dan sangat dicintai oleh orang-orang di kota itu. Dan beliau juga memiliki seorang keponakan yang sangat mencintainya (klo ga salah sih keponakan yah… kalo salah ya mo gimana lagi, abis udah lupa. hehehe…). Nah si nenek ini orangnya sangat aktif, dan walaupun sudah tua (klo ga salah usianya 90-an) tapi masih bisa mengerjakan banyak hal.

Sebelumnya, peringatan klo yang berniat baca bukunya berikut ini adalah spoiler… :p

Ceritanya, nenek Elner ini mati (nah lho??). Saya juga bingung tadinya, mosok baru baca buku tokoh utamanya langsung mati. hahaha… Dia mati karena disengat sesuatu (kayanya lebah sih… udah lupa) ketika memanjat pohon ara dihalaman rumahnya yang kemudian mengakibatkannya jatuh dari pohon tersebut. Nenek elner langsung dibawa kerumah sakit, namun jiwanya tidak tertolong. Semua orang menangisi kepergiannya, terutama keponakannya. keponakannya ini tipe orang yang mudah khawatir. Sedikit2 khawatir yang mengakibatkan dirinya sendiri mudah depresi dan jadi terkesan cerewet. Dia menyalahkan dirinya atas kematian bibinya itu. Dia sudah lama menyatakan ketidaksukaannya pada keputusan bibinya untuk tinggal sendirian di kota itu.

Pemakaman kemudian diurus, seorang temannya menulis obituari untuk dimuat disurat kabar lokal, diumumkan diradio lokal, tetangga dekatnya membersihkan rumahnya, dan teman2nya memesan bunga untuk pemakamannya. Tapi ajaibnya si nenek ini hidup lagi setelah lebih dari 24 jam dinyatakan mati. Ceritanya kebanyakan berisi flash back tentang peritiwa2 yang dialami orang2 disekeliling nenek Elner yang ada hubungannya dengan nenek Elner ini. Ada juga sebagian kecil menceritakan apa yang dialami nenek Elner ketika ia ‘mati suri’. Beberapa halaman akhir kemudian berisi tentang kehidupan si nenek dan orang2 disekelilingnya sepanjang tahun2 terakhir kehidupannya (diakhir cerita si nenek Elner benar2 meninggal…)**. Nah lho??? Jadi apa hubungannya buku ini dengan percakapan tadi???

Yang membuat aku teringat buku ini ketika mengingat percakapan itu adalah sikap hidup nenek Elner ini. Nenek Elner menganggap bahwa kehidupan itu sudah ada yang mengatur. Kita manusia tidak perlu merasa khawatir terus menerus, mempertanyakan nasib, bahkan menjalani hidup dengan cara keras dan yang tidak membahagiakan. Bagi beliau, hidup itu harus dinikmati. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, dijalani, nikmati dan terus melangkah kedepan. Seperti percakapan di awal tadi, untuk apa kita terus2 bersikap keras pada diri kita sendiri, bahkan mungkin menyalahkan keadaan, Tuhan dan lain sebagainya. Pada akhirnya kita akan menuju sebuah bulatan, tinggal kitalah yang memilih jalan mana yang akan kita tempuh…

Semoga Manusia A dan Manusia B tidak membaca Note ini, dan jikalau ternyata membaca, mohon maaf telah ‘membocorkan’ percakapan anda berdua. Sekian dan terima kasih… (LOL!!)

 

keterangan:

*)   percakapan telah dimodifikasi sesuai ingatan penulis tanpa mengurangi arti yang akan disampaikan. :p

**) kalo penasaran ceritanya beli aja bukunya dan baca sendiri… Bukunya sangat lucu dan menghibur, dijamin cekikikan sendiri bacanya. hihihi..

(reblog)

,

Leave a Reply